Selasa, 07 Juni 2011

MORE OUT THAN ENTRI (banyak keluarnya daripada masuknya)


2  & 7 Juni 2011
Sambil mengantuk nih mata, sambil nulis tulisan singkat ini. Sekedar untuk berkarya dalam “karya mini” ini. Saya mencoba menyalurkan tulisan yang mungkin, bisa memberi inspirasi untuk diri gua sendiri, apalagi diri orang lain. Pusing . . . gak karuan . . . Cuma memikirkan, apa “kerja sampingan” di samping kerja utama di suatu instansi pemerintahan. Ini lah yang gua pikirin. Banyak temen gua senasib, sepenanggungan, se”satu piring”an, pokoknya se, se, dan semua serba satu nasib dah. Gara-garanya kenapa? Besar pengeluaran daripada pemasukan.
Emang bener sih, banyak yang mengaku gajinya gak cukup, gara-garanya
“lebih banyak pengeluaran daripada pemasukan”  . . . gimana gak kurang, ibarat begini, pada hari selasa, dapat gajian Rp.1.000.000 (satu juta rupiah), maka pada hari selasa itu juga duit sejuta itu, LUDES, habis terbakar untuk bayar :
  1. Bayar utang sama si temen, 2 minggu kemaren minjem 200.000’an
  2. kredit motor kurang lebih 500.000’an
  3.  untuk beli susu anak (itu untuk yang punya keluarga), sekitar 200.000 (susu yang mahal, kalo gak mahal gak cocok)
  4. bayar kos-kosan/kontrakan rumah (untuk yang merantau jauh dari kampung halaman) kira-kira 250.000 (itu aja sudah paling murah untuk takaran daerah tempat gua)
dari semua contoh yang ada, itu saja kalo di jumlah dan ditotal abis Rp. 1.150.000 . . . jadi yang tersisa bisa loe tebak . . . yak betul . . . - Rp. 150.000 . . . gak ampe situ aja duitnya bertahan. selasa malamnya, pengen banget makan mie ayamnya “Cak Plin”(contoh panggilan sayang untuk paman tukang jual mie ayam) yang sudah di “empet-empet” selama 2 minggu lalu, dan akhirnya terkabul lah keinginannya untuk makan mie ayam. Malam itu makan mie ayam khas Sunda, pake “pangsit” dan pentol. Di total habisnya sekitar Rpl 15.000. sisa uang sekitar - 165.000. kemudian, balik ke rumah dengan bensin di motor sudah limit, hampir habis, jika di teruskan mengendara motor itu, maka mogok lah di jalan. Makanya beli bensin di emper-emper pinggiran jalan 1 liter (yang mana takaran botol literannya aja gak sampe 1 liter) dengan harga 5.000. tinggal – 170.000 dah duitnya. wah, kerja sebulan dapet gaji 1.000.000, hari itu juga habis duit nya . “bahkan, duit gajinya “minus” 170.000. kalo dipikir begini :
dalam sebulan ada 30 hari. Itu kita di hargai sehari sekitar 32.000’an. banting tulang, dari dengkul jadi kepala, kepala jadi dengkul kerja sebulan full dengan semangat dan rajinnya. Kemudian habis begitu saja ketika dia terima duit itu pada saat hari pembagian gajinya malah minus 170.000 . Nah, kenapa begini bro, sis, mas, mba, om, tante, bapak, ibu . . .?
duit pemasukan “kalah syeet” sama duit pengeluaran. Habis dah, habis dah, habiiiiiiis  . . . kurangnya pengelolaan “keuangan pribadi” yang baik dan terkendali, dalam pribadi diri sendiri baek yang masih bujang maupun yang sudah berkeluarga.
Mao gaji sejuta, sepuluh juta, seratus juta, satu milyar bahkan satu triliyun pun kita gak akan puas dan tercukupi jika pengeluaran lebih “WAH” gedenya daripada pemasukan... ini yang membuat kita mengeluh, mengeluh, mengeluh dan mengeluh terus tiap habis menerima gaji, dan kemudia ludes habis. Sadar gak sadar memang itu yang kita alami. Disini gua gak mau kasih solusi, karena gua masih gak karuan orangnya, atau gua kurang lebih seperti apa yang gua tulis disini “lebih besar pengeluran daripada pemasukan” . . .
Gua hanya menyampaikan realita yang banyak terjadi di sekitar gua.

Rabu, 01 Juni 2011

“Rumah, Kamar Pribadi & design dalam toko”

Wednesday, 1 Juni 2011
Kadang terlintas di otak gua pikiran begini :
“punya rumah & perusahaan sederhana, kecil, juga enak dipandang ,di umur muda gua” . . .
Emang berkhayal itu enaaak . . .
Coba loe bayangin sendiri dah, umur 22 tahun sudah punya rumah yang bertipe 36 minimalis, and toko/perusahaan dengan karyawan 2-3 orang aja. Itu menurut gua sudah cukup untuk saat ini, walaupun Cuma berkhayal. Tapi senggak-nggaknya gua punya otak dan pikiran untuk menuju ke situ (rumah dan perusahaan) dan alhamdulillah punya mata, telinga, tangan kaki untuk merealisasikannya (InsyaAllah Qobuuul).
Yang gua heran ke diri gua sendiri, yaitu “ MALAS ” . . .
Jujur, untuk menulis blog ini aja gua campur malas-malas sedikit. Tapi gua paksain untuk diri gua sendiri, karena “obat penawar” untuk orang malas adalah “PAKSA” . . .  percaya gak percaya terserah. Yang jelas, supaya loe bisa percaya, lakukan and “do it” sendiri dah . . .  ceritakan pada semua orang, tetangga loe, adek loe, pacar loe, yang kena penyakit “ Sindrome MALAS “ pakai “AJIAN” ini : PAKSA . . .
Bukan masalah apa-apa gua curhat pada loe semua tentang gua ini. Honestly (jujur aja) gua memang orangnya pemalas. Gua seorang pemuda yang terkena penyakit “ Sindrome Malas “ cukup parah, ato dalam bahasa lainnya “akut” . . . sekarang, gua berpikir kalo gua malas, tidur-tiduran, mabok-mabokan, frustasi, and lainnye yang negatif, “ hidup mahal yang Cuma sekali “ ini gua gunakan untuk itu semua (malas dll), maka mendingan gua “ ke laut “ sekarang, cebur ato istilahnya kata Ian Kasela Radja “ ke laot aja Loe ” . . . 

Senin, 30 Mei 2011

Pengen Punya Photo Digital, Sepeda Fixie, Honda Jazz . . .

Pengen Punya Photo Digital, Sepeda Fixie, Honda Jazz . . .

Pengen, Handak (dalam bahasa daerahku), Want, Wish (english, lang). Sekedar punya keinginan benda dalam otak ku... Benda yang mana, sebagian orang bisa mencapainya, sebagian yang lain “boro-boro” mencapai, melihatnya secara langsung aja gak pernah, apalagi mencapainya . . .
Ini benda yang gua maksud :

1. Photo Digital (Canon)


Kenapa gua pengen Benda ini?
Alasannya, simpel aja . . .
Gua mau memotret “momen-momen” yang gokil, gila, sakral, penting, sedih, bahagia, sukses, gagal dan ekspresi laen yang hampir nggak bisa di ungkapkan dengan visual gambar Photo . . . Kemudian gua ceritakan, tuliskan, share pada orang-orang banyak. Terserah orang, mau berkomentar apa pada hasil Photonya, yang jelas gua Cuma mencoba mengeksplore diri untuk kepuasan hati gua.
Jika yang terlihat pada hasil Photonya, “lagi bersedih” mungkin gua bisa bagi gambar-gambar tersebut kepada semua orang, kemudian orang berkomentar apa to the image (pada gambar ntu).
“sedang bokek” (BOlong Kantong EKe) gua share (bagi) dah ke semua orang... Mudah-mudahan dengan gua share gambar BOKEK gua, orang bisa perhatian pada ke Bokek an gua . . . (he..he..he... just kidding).

Selasa, 11 Januari 2011

Sambil ngeblog . . . NIiiih . .. ... RHCP . . . Can't I stop


kalo bisa, ini masuk untuk download dan langsung dengerin :

Berbagi Ilmu . . . Cara Install VT 12 di Ubuntu


Setting Modem Venus VT 12 di Ubuntu 10.4 (Lucid Lynx)

Ubuntu menjadi salah satu distribusi dari linux yang paling populer sebab selain berbagai kelebihannya, juga ramah terhadap penggunanya dan berbagai fitur-fitur handal yang ada di distribusi turunan debian ini. namun kurang lengkap bila hal tersebut tidak didukung oleh koneksi internet, oleh sebab itu sekarang ini saya akan menjelaskan cara menghubungkan ubuntu ke internet dengan modem.
sebagai contoh saya menggunakan modem Venus VT-12 CDMA untuk mendownload paket wvdial bisa disini atau download satu persatu paket dibawah ini:

Senin, 10 Januari 2011

Siapa PROF. KEN SOETANTO?




I decided long ago / Never to walk in anyone's shadow / If I fail, if I succeed / At least I'll live as I believe / No matter what they take from me / They can't take away my dignity


Because the greatest love of all / Is happening to me / I found the greatest love of all / Inside of me


The greatest love of all / Is easy to achieve / Learning to love yourself / It is the greatest love of all 
Kutipan lirik lagu The Greatest Love of All di atas, dapat menggambarkan geliat dan pergumulan hati Ken Soetanto, pada saat ia terpaksa harus berhenti bersekolah. Tahun 1965, ketika terjadi gejolak politik, Chung-Chung High School di Surabaya - Jawa Timur ditutup pemerintah. Padahal waktu itu, ia baru duduk di kelas satu SMA. 
Maka, selanjutnya ia bekerja di toko milik kakaknya. Sembilan tahun kemudian, akhirnya ia berhasil berangkat ke Jepang untuk melanjutkan sekolah.  


Berbekal semangat belajar tinggi, tekad yang pantang menyerah, serta terus menggenggam erat mimpi-mimpinya, Ken berhasil meraih gelar profesor dan empat gelar PhD/Doktor dari empat universitas berbeda di Jepang. Yaitu PhD di bidang aplikasi rekayasa elektronika dari Tokyo Institute of Technology (1985), PhD di bidang kedokteran dari Universitas Tohoku (1988), kemudian gelar Doktor ilmu farmasi dari Science University of Tokyo (2000), dan Doktor ilmu pendidikan dari Universitas Waseda (2003). Bahkan dari pengembangan interdisipliner dari keempat ilmu yang dikuasainya, Soetanto telah menghasilkan 29 paten di Jepang dan dua paten di Amerika Serikat.  
Berbagai penghargaan berhasil diraih Soetanto, di antaranya Outstanding Achievement Awards in Medicine and Academia dari Pan Asian Association of Greater Philadelphia, AS. Juga predikat profesor riset terbaik dan profesor mengajar terbaik selama tujuh tahun berturut-turut di Toin University of Yokohama. Sebuah pencapaian yang bukan hanya sangat luar biasa, akan tetapi bahkan terbilang nyaris mustahil. Mengingat, sebelumnya begitu banyak rintangan yang harus ia hadapi. Mulai dari para akademisi Jepang yang meremehkannya sampai kisah masa kecilnya yang rapuh dan mengidap penyakit TBC saat masih tinggal bersama ibu tirinya.


Lalu, dari mana semua keberhasilannya itu ia peroleh? Jawabannya, seperti bunyi pepatah lama "There is no Greatness, without Suffering! Tak ada KEAGUNGAN tanpa PENDERITAAN". Seperti apa persisnya penderitaan yang di lalui Soetanto di masa kecilnya? Serta bagaimana ia terus berusaha berkelit dari semua rintangan yang datangmenghadang? Berikut kronologinya. 
Sukses yang Tertunda


Saat sekolah SMA-nya ditutup, Soetanto terpaksa bekerja sebagai tukang reparasi radio di toko milik kakaknya. "Setiap tutup toko jam delapan malam, saya belajar sampai jam lima pagi. Saya terus mengotak-atik radio dan tape. Semangat ini masih saya bawa sampai sekarang, dan inilah semangat yang kemudian mendorong saya untuk mengambil sekolah di Jepang," kisahnya kepada majalah motivasi LuarBiasa. "Setelah saya bisa, kemudian saya mulai muter ke toko-toko elektronik yang ada di Blawuran, untuk menawarkan reparsi secara cuma-cuma. Saya ditanya kamu siapa? Apa bisa reparasi? Waktu itu orang belum percaya kepada saya. Biasanya saya jawab: nanti nggak usah bayar, kalau rusak komponennya saya ganti. Waktu itu saya keliling memakai sepeda."  
Meski tokonya kemudian berkembang sangat pesat, sehingga Soetanto pun berhasil mengumpulkan banyak sekali uang, akan tetapi panggilan jiwanya tak berhenti mengusik. Ia tak sedikit pun bermimpi ingin menjadi pedagang, meski bakal berhasil sekaya apa pun. Keinginannya pada waktu itu hanya satu, yaitu ingin terus menuntut ilmu, dan menjadi ilmuwan. Akan tetapi dalam suasana sosial politik di Indonesia pada waktu itu, peluangnya boleh dibilang mustahil. Karena itulah mimpi berikutnya adalah sekolah di Jepang. 






"Untuk biaya sekolah ke Jepang, kebetulan saya punya tabungan dan kakak saya juga akan membantu separuhnya. Sebetulnya kakak saya menentang, dia bilang: orang yang lulus S1 saja inginnya menjadi manajer, lha kamu yang punya perusahaan sendiri kok mau kembali menjadi kere? Saya ingin sekolah lagi karena saya merasa bahwa selama berusaha mencari uang, perasaan saya hampa, sehingga hanya berjalan begitu-begitu saja. Saya memerlukan teknik, untuk bisa mengabdi kepada masyarakat. Sebetulnya saya punya dua pilihan, yaitu sekolah ke Jerman atau ke Jepang. Tetapi akhirnya saya lebih memilih ke Jepang."


Ketika akhirnya Soetanto berhasil meneruskan sekolah ke Jepang, perjuangan yang sesungguhnya baru dimulai. "Pada saat mulai belajar bahasa di sana, saya diremehkan. Sebab, saat sekolah itu umur saya sudah 27 tahun. Dan di sana, lazimnya pada saat umur 27 tahun, orang sudah lulus S3 dan sudah memperoleh gelar PhD. Kalau dihitung-hitung, saya sudah telat delapan tahun. 


Rencananya saya mau sekolah di Jepang selama satu tahun, tapi akhirnya sampai empat tahun. Pada saat memasuki tahun ketiga, tiba-tiba perusahaan kakak saya di Pasar Turi, terbakar. Waktu itu sekitar 3.500 sampai 4.500 toko terbakar habis dalam waktu 3 hari. Karena itu kakak saya bilang, ‘Maaf saya sudah sudah tidak bisa membantu biaya kamu lagi, kamu sebaiknya pulang sekarang.' Saya jawab, ‘Saya pasti lulus! Untuk itu, saya tetap akan meneruskan sekolah tanpa kiriman dari kakak.' Kebetulan saya di Jepang mengajar privat, dengan penghasilan 40 ribu yen, atau kira-kira sepertiga dari biaya hidup yang saya butuhkan. Singkatnya, never-never give up, saya kejar terus," kisahnya, tentang masa-masa awal ia menerima cobaan.


Soetanto berhasil menyelesaikan S1 dalam waktu empat tahun, S2 selama dua tahun, dan S3 di Tokyo Institut of Technology selama tiga tahun. "Setelah persis tiga tahun lulus S3, saya merasa harus pulang ke Indonesia, untuk membawa istri dan anak saya datang ke Jepang. Kebetulan saya mempunyai dome yang murah, sehingga bisa mengajak istri dan anak tinggal di Jepang. Tapi ternyata setelah satu setengah tahun mencari pekerjaan, saya nggak mendapatkannya. Dari lima puluh surat aplikasi (lamaran) yang saya kirim nggak ada satupun yang dijawab! Saya sempat heran, Tokyo Institut of Technology sekolah saya itu, merupakan sekolah yang bagus, setara dengan MIT-nya Jepang. Nilai saya pun juga bagus, tapi nyatanya kok nggak ada satu pun yang mau membalas lamaran saya. Sampai akhirnya saya tahu, bahwa ternyata orang Indonesia atau orang luar negeri nggak mungkin bisa bekerja sebagai akademisi di Jepang. Ada semacam tembok penghalang yang merintangi. 


Saya terus berusaha mencari jalan keluar, sampai kemudian saya berkesimpulan, bahwa satu-satunya cara agar bisa dapat pekerjaan, saya harus melebihi kepintaran orang Jepang. Saya harus lebih pintar, lebih jago dari mereka. Tapi bagaimana caranya? Pada saat itu saya sudah memiliki gelar PhD di bidang elektro," kenang Soetanto. 


Soetanto akhirnya kuliah lagi. Kali ini Soetanto mengincar gelar PhD di bidang kedokteran. "Mestinya, waktu yang saya butuhkan untuk sampai mencapai gelar PhD sekitar tujuh tahun. Tapi syukurnya, dalam waktu 3,5 tahun saya sudah meraih gelar Doktor. Dengan mengaintongi dua gelar PhD, saya merasa menjadi orang top. Kalau istilahnya orang Jepang, seperti ‘hantu yang membawa besi.' Hantu itu sudah ditakuti, apa lagi masih ditambah membawa besi, maka akan sangat ditakuti dan kuat. Dalam pikiran saya, pasti saya bakal langsung dapat pekerjaan. Karena saya merasa seperti layaknya Doktor lulusan Stanford dan Doktor lulusan Harvard di Amerika. Tapi siapa sangka, pada saat saya kembali mencari pekerjaan, ternyata saya tidak juga mendapatkannya. Padahal biaya hidup, saya sudah nggak punya. Sampai anak istri saya ungsikan ke Hong Kong di tempat kakaknya. 


Karena tidak punya uang, tempat tinggal saya ganti dengan yang lebih kecil. Dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba ada telepon dari profesor saya, yang saya panggil dengan sebutan Profesor IT. Profesor ini benar-benar pintar, sangat hebat, patennya hampir mencapai 900 item, tetapi sangat kejam. Dia menelepon saya, memberi kabar bahwa dia sudah pensiun. Kemudian ia minta tolong saya, untuk mengurusi murid-murid kiriman Pak Habibie dari Indonesia. 
Singkatnya, pada waktu bertemu dia sempat mengeluh, "Aduh, saya pusing menjadi Chairman, karena disuruh mencari dosen Biomedical, di Jepang mana ada?' 
Maka segera saya jawab, ‘Pak saya ini dari kedokteran dan biomedical.' Dia bingung mendengar jawaban saya. Profesor ini dulu dosen saya di S1 dan S2. Tak lama kemudian dia tanya, ‘Apa kamu bisa?' Singkat cerita, saya dikenalkan ke Rektor. Setelah itu saya dites. Hasilnya? Respektor saya 37, sudah sangat cukup, bahasa Inggris saya juga cukup. Mereka bilang: Ya sudah, besok kirim aplikasinya."  
Seketika Soetanto merasa sangat senang sekali! Akhirnya dia berhasil mendapat pekerjaan juga. ‘Tuhan memang mangasihi orang-orang yang tidak putus asa', begitu pikirnya. "Saking senangnya, aplikasi papernya saya buat serapi mingkin. Sampai saya harus menyiapkan hingga jam lima pagi. Saya nggak berani tidur, karena jam 7 pagi saya mesti sudah berangkat ke universitas untuk menyerahkan aplikasinya. Pada saat saya memasuki kampus, orang-orang nggak ada yang melihat saya. Sudah jam 9, akhirnya saya permisi memperkenalkan diri, ‘Saya ini Soetanto yang kemarin datang bersama profesor IT.' Sampai saya menunggu selama 45 menit, semuanya masih pada diam. 


Sekali lagi saya buka suara, ‘Saya ini Soetanto muridnya profesor IT yang kemarin ke sini, Anda kemarin juga ikut menemui saya kan?' Lagi-lagi, semua tetap diam. 


Baru sekitar jam setengah 11 siang, profesor keluar dari ruangan, saya senang sekali. Tiba-tiba, si profesor berkata ‘Tanto, ini bukan di Indonesia, ini Jepang, lupakan aplikasi kamu!' Wah...saya jadi bingung. ‘Yang menyuruh kan Anda? Yang mencari dosen kan Anda? Yang suruh bawa aplikasi juga Bapak sendiri kan?'


Dengan dingin dia bilang kepada saya, ‘Kamu ke sini kan untuk belajar dari orang Jepang.' Mendengar jawaban itu kontan saya menangis. Profesor itu menambahkan. ‘Kamu itu bisa belajar atas bantuan orang Jepang, kok sekarang mau mengajar orang Jepang? Orang Jepang tidak butuh kamu!' Hati saya benar-benar hancur saat itu," tutur Soetanto.


Namun, netter yang luar biasa, semua peristiwa pahit yang dialami Soetanto sejak masih kecil hingga berbagai tekanan yang diterimanya di Jepang, seakan memang dimaksudkan "kehidupan," untuk mempersiapkannya. Sebagaimana tekanan dan panas bumi dalam suhu tinggi yang mampu mengubah batu bara biasa, menjadi berlian yang indah. Begitu pula yang terjadi pada Soetanto. Beliau kini telah menjelma menjadi "orang besar". Ia adalah orang pertama dari luar Jepang yang bisa menduduki level jabatan Kepala Divisi di Universitas Waseda-salah satu universitas paling top di Jepang, bahkan dunia, khususnya dalam hal sains. Tahukah Anda? Kementerian Pendidikan Jepang bahkan membiayai risetnya hingga 14 juta dollar AS (sekitar Rp144 miliar) per tahun. 
Ken Soetanto juga menjadi salah satu dari tiga pemohon paten paling terkemuka di Jepang, yang telah mempublikasikan lebih dari 1100 karya ilmiahnya. Kini, ia menjabat sebagai guru besar School of International Liberal Studies di Universitas Waseda, guru besar di Toin University of Yokohama, Jepang, dan anggota Komite Evaluasi Tokyo Institute of Technology. 


Prof Ken, ketika sedang berbagi kisah, ilmu, dan inspirasi, dalam seminar "Create Your Hoki/Success in Business and Career", 20 Februari lalu di Jakarta.
Sebagaimana dialami oleh Albert Einstein yang pada waktu kecil benar-benar dianggap sebagai anak yang payah serta bodoh dalam semua mata pelajaran, kecuali matematika, tapi kemudian malah berhasil menjadi fisikawan terbesar Abad Dua Puluh. Begitu pula dengan kisah hidup Ken Soetanto, yang kini telah berhasil menemukan ergon-nya. Di mana karya-karyanya merupakan amal, dharma ataupelayanan bagi banyak orang, sebagaimana ia mimpikan sejak usia muda.






LATAR BELAKANG PENDIDIKANNYA
Pendidikan
SD Ta Chung, SD Shi Hwa, SD Ming Jiang di Surabaya
SMP Chung Chung di Surabaya
SMA Chung Chung di Surabaya
Sarjana Teknik dari Universitas Pertanian dan Teknologi Tokyo (Tokyo University of Agriculture and Technology), Jepang (1977)
Doktor Aplikasi Rekayasa Elektronika dari Institut Teknologi Tokyo, Jepang (1985)
Doktor Ilmu Kedokteran dari Universitas Tohoku, Jepang (1988)
Doktor Ilmu Farmasi dari Universitas Sains Tokyo, Jepang (2000)
Doktor Ilmu Pendidikan dari Universitas Waseda, Jepang (2003)
Karier
Associate Professor di Universitas Drexel, Philadelphia, AS (1988-1993)
Associate Professor di Universitas Thomas Jefferson, Philadelphia, AS (1988-1993)
Guru Besar di Toin University of Yokohama, Jepang (1993-sekarang)
Guru Besar di Universitas Waseda, Jepang (2003-sekarang)
Guru Besar di Universitas Internasional Venice, Italia (2005-sekarang)
Komite Evaluasi di Institut Teknologi Tokyo, Jepang (1997-sekarang)
Penghargaan
Outstanding Achievement Awards in Medicine and Academia dari Pan Asian Association of Greater Philadelphia, AS
Profesor Riset Terbaik dan Profesor Mengajar terbaik selama tujuh tahun berturut-turut (1994-2000) dari Toin University of Yokohama, Jepang
Pemegang rekor empat gelar doktor di Jepang; Dr. Eng., Dr. Med., Dr. Pharm., dan Dr. Edu. (sejak tahun 2003)


NB: Bergelar 4 doktor dan juga professor bagi banyak orang, mungkin adalah hal yang tidak mungkin, karena butuh waktu yang panjang dan kecerdasan. Namun Prof. 4Dr. Ken Kawan Soetanto berhasil membuktikannya lewat ketekunan dan semangatnya. Terlebih ia menjadi orang pertama dari luar Jepang (dari Indonesia), dalam kurun waktu 125 tahun, yang berhasil menjabati jabatan setingkat kepala divisi diUniversitas Waseda. Beliau bisa, begitu juga dengan kita. Semangat!


Sumber : http://sukses-area.blogspot.com/2010/06/kisah-sukses-ken-soetantoanak-buangan.html

Senin, 06 Desember 2010

GEMBEL KREATIF

Mantab kata orang Indonesia Band ini. Hampir 30 tahunan band asal Indonesia ini telah berkecimpung di dunia Musik Indonesia (1983-2010 now). 
Bukan main itulah kata yang bisa saya ucapkan. Band yang punya karakter kuat. Kata Slank yang berasal dari SLEnGE'an (SLANK red)\, ini bukan sembarang SLEnGE'an (Nakal, Bad Boy red) tapi mereka termasuk SLEnGE'an kReatif. Inilah mengapa saya angkat di Blog mudagembelkreatif ini. Seakan seperti geMbel, tetapi kreatif dan penuh sesuatu2 baru yang dimunculkan oleh Slank ini. Sesuatu yang bisa membuat orang terhibur, KaGum, dan tergila2 karenanya . .. ....


Inilah Band yang dibanggakan oleh orang Indonesia. Apa adanya.